Friday, March 7, 2014

winner at a losing game.

Malam ini semesta membangunkan ku dari tidur ku yang panjang. Sekian kali jiwa mengingatkan raga untuk bangun, untuk tidak terlena dengan nyamannya. Tapi salahku, mungkin peringatan memang tiada cukup. Aku ingat betul bahkan ku tulis sendiri puisi untuk diriku malam itu. Untuk mengingatkan ku bahwa mimpi tiada beda dengan Mahameru. Indah, namun mematikan di waktu yang sama.

Sudah ku bilang mimpi ku memang muluk-muluk. Ia membawa ku ke persimpangan jalan yang sangat berkabut. Membuat ku buta arah. Sampai akhirnya yang ingin ku lakukan adalah semata-mata bagaimana membawa kebahagiaan datang pada dia yang maram wajahnya ku lihat senja itu. Karena kebahagiaannya adalah yang ku rasa akan menyinari arahku. Karena kebahagiannya adalah yang ku rasa akan membawaku menembus kabut tebal di ujung jalan. Ku sita waktu ku berlari menembus hujan, dan melawan dingin yang menusuk kulit pada senja yang tak bersahabat itu, semata-mata untuk mendekatkan mu. Bukan padaku, tidak, bukan. Inginku toh sesederhana mendekatkan mu pada kemudahan.

Akhirnya malam ini semesta menjawab segala tanya ku. Semesta membangunkan ku dari aku yang terlelap terlampau panjang dan aku yang terhanyut dalam angan yang menyenangkan, enam bulan terakhir. Semesta membangunkan ku dengan cara yang kasar, sedikit tidak berperikesemestaan. Mungkin memang semesta begitu adanya. Sakit. Belati, pedang, sebut semua, semua benda tajam yang ada di muka bumi ini rasa-rasanya seperti di tohokan ke dada ku. Mengoyak-ngoyak hati ku yang tak berperisai. Pada akhirnya air mata tiada kuat untuk di bendung, benteng pertahanan yang ku bangun kokoh akhirnya hancur lebur juga. Bahu ku bergetar hebat menahan sakit di dada yang tak tertahankan. Rasanya ingin buang jauh-jauh saja hati yang ku punya.

Ya, paling tidak aku masih kuat menulis.

No comments:

Post a Comment