Saturday, December 13, 2014

Akhir Tahun

Tadinya pikir ku aku akan terbuai nestapa selamanya
Tadinya pikir ku aku akan tahan lara selamanya
Tapi kemudian dia datang, atau aku yang hampiri
Tapi kemudian dia bersinar, atau aku yang baru sadari

Tiada yang lebih indah dari bersandar bersamamu
Di senja kala itu, saat rintik hujan buatku ucap keluh
Tiada yang lebih menyesakkan
Di malam kala itu, saat apa yang sadar ku rasa diam tertahan

Tapi kemudian terasa sakit saat ku tanya pada semesta,
Aku bisa apa?

Saturday, October 4, 2014

Merindukan Hujan

PADA SUATU PAGI
Sapardi Djoko Damono



Maka pada suatu pagi hari ia ingin sekali menangis sambil berjalan tunduk sepanjang lorong itu. Ia ingin pagi itu hujan turun rintik-rintik dan lorong sepi agar ia bisa berjalan sendiri saja sambil menangis dan tak ada orang bertanya kenapa.




Ia tidak ingin menjerit-jerit berteriak-teriak mengamuk memecahkan cermin membakar tempat tidur. Ia hanya ingin menangis lirih saja sambil berjalan sendiri dalam hujan rintik-rintik di lorong sepi pada suatu pagi.

Amarah, Nyaris Murka

Rasa ku tiada aksara sanggup ungkapkan hening yang ku rasa. Aku bangun saat fajar telah singsing, tiada gairah, kerap terlambat. Seketika kampus perjuangan yang orang damba tidak lebih dari bangunan reyot termakan umur yang dalamnya penuh kemunafikan. Seketika langkahku yang dulu semangat melanglang itari 'rumah kedua' ini menjadi lelah tak tertahankan. 

Tiada nyawa yang paham laras hati ku kala ini. Mereka anggap aku luar biasa, energik, penuh suka cita. Tiada nyawa yang paham berat beban yang ku pikul kala ini. Mereka anggap hidup ku lapang-lapang saja. Persetan dengan sahabat, kapan mereka tanya? Tanya tapi tak dengar, sungguh ku tak gila formalitas, tak haus belas kasih. Mencoba terlihat peduli padahal tak lebih dari egoisme tak tersadari. Bukan aku pamrih, tapi begitu adanya, kalian yang tak sadar.

atau sadar tapi tak empati. 

Monday, August 4, 2014

A Quote

People say:

"There are plenty other fish in the sea."



I say:

"Fuck you. He was my sea." 
 

Friday, April 11, 2014

Sebenarnya Bunuh Diri


Engkaulah getar pertama yang meruntuhkan gerbang tak berujungku mengenal hidup

Engkaulah tetes embun pertama yang menyesatkan dahagaku dalam cinta tak bermuara

Engkaulah matahari Firdausku yang menyinari kata pertama di cakrawala aksara


Kau hadir dengan ketiadaan. Sederhana dalam ketidakmengertian.

Gerakmu tiada pasti. Namun, aku terus disini.

Mencintaimu



Entah kenapa.



Dewi Lestari (Supernova)

Friday, March 7, 2014

winner at a losing game.

Malam ini semesta membangunkan ku dari tidur ku yang panjang. Sekian kali jiwa mengingatkan raga untuk bangun, untuk tidak terlena dengan nyamannya. Tapi salahku, mungkin peringatan memang tiada cukup. Aku ingat betul bahkan ku tulis sendiri puisi untuk diriku malam itu. Untuk mengingatkan ku bahwa mimpi tiada beda dengan Mahameru. Indah, namun mematikan di waktu yang sama.

Sudah ku bilang mimpi ku memang muluk-muluk. Ia membawa ku ke persimpangan jalan yang sangat berkabut. Membuat ku buta arah. Sampai akhirnya yang ingin ku lakukan adalah semata-mata bagaimana membawa kebahagiaan datang pada dia yang maram wajahnya ku lihat senja itu. Karena kebahagiaannya adalah yang ku rasa akan menyinari arahku. Karena kebahagiannya adalah yang ku rasa akan membawaku menembus kabut tebal di ujung jalan. Ku sita waktu ku berlari menembus hujan, dan melawan dingin yang menusuk kulit pada senja yang tak bersahabat itu, semata-mata untuk mendekatkan mu. Bukan padaku, tidak, bukan. Inginku toh sesederhana mendekatkan mu pada kemudahan.

Akhirnya malam ini semesta menjawab segala tanya ku. Semesta membangunkan ku dari aku yang terlelap terlampau panjang dan aku yang terhanyut dalam angan yang menyenangkan, enam bulan terakhir. Semesta membangunkan ku dengan cara yang kasar, sedikit tidak berperikesemestaan. Mungkin memang semesta begitu adanya. Sakit. Belati, pedang, sebut semua, semua benda tajam yang ada di muka bumi ini rasa-rasanya seperti di tohokan ke dada ku. Mengoyak-ngoyak hati ku yang tak berperisai. Pada akhirnya air mata tiada kuat untuk di bendung, benteng pertahanan yang ku bangun kokoh akhirnya hancur lebur juga. Bahu ku bergetar hebat menahan sakit di dada yang tak tertahankan. Rasanya ingin buang jauh-jauh saja hati yang ku punya.

Ya, paling tidak aku masih kuat menulis.

Saturday, January 11, 2014

Sudah Gila


Hari itu baik saat ku lihat punggungmu dari jauh, wajahmu dari jauh

Hari itu indah saat ku rasa kita hirup udara yang sama, di ruang yang sama

Hari itu sempurna saat ku lihat tulus senyum mu, menyambut senyum ku


Mereka tidak keliru kalau mereka pikir aku gila

Rasanya memang benar adanya

Gila karena mu adalah penyakit

Yang untuk sembuh pun aku tak ingin

Yang Tak Bisa Disampaikan

Untuk dia yang di bawah pohon rindang terlelap
Untuk dia yang tak kuat duduk diantara cerobong asap
Untuk dia yang harus pergi cepat-cepat

Jangan berlari
Jangan menjauh
Lihat sekitar karena kebahagiaan sedang mencarimu

Untuk dia yang ingin menjadi pujangga
Untuk dia yang tak sadar dirinya di puja
Untuk dia yang baik hatinya tanpa pura-pura

Jangan merunduk
Jangan bertekuk lutut
Angkat kepalamu dan kau akan membuat mereka salut

Untuk dia yang sedihnya buat ku pilu
Untuk dia yang senyumnya buat ku rindu
Untuk dia yang namanya ku sebut di tiap doa ku

Selamat ulang tahun..
Semoga kebahagiaan lekas menemukanmu