Tadinya pikir ku aku akan terbuai nestapa selamanya
Tadinya pikir ku aku akan tahan lara selamanya
Tapi kemudian dia datang, atau aku yang hampiri
Tapi kemudian dia bersinar, atau aku yang baru sadari
Tiada yang lebih indah dari bersandar bersamamu
Di senja kala itu, saat rintik hujan buatku ucap keluh
Tiada yang lebih menyesakkan
Di malam kala itu, saat apa yang sadar ku rasa diam tertahan
Tapi kemudian terasa sakit saat ku tanya pada semesta,
Aku bisa apa?
stalemate.
the other side of Marini Fabiano. to be noted: I'm not a writer. Put your expectation down. // Pick your favorite heart-breaking playlist before you read this piece of shit. Be sad. Please, be extremely sad for me.
Saturday, December 13, 2014
Saturday, October 4, 2014
Merindukan Hujan
PADA SUATU PAGI
Sapardi Djoko Damono
Maka pada suatu pagi hari ia ingin sekali menangis sambil berjalan tunduk sepanjang lorong itu. Ia ingin pagi itu hujan turun rintik-rintik dan lorong sepi agar ia bisa berjalan sendiri saja sambil menangis dan tak ada orang bertanya kenapa.
Ia tidak ingin menjerit-jerit berteriak-teriak mengamuk memecahkan cermin membakar tempat tidur. Ia hanya ingin menangis lirih saja sambil berjalan sendiri dalam hujan rintik-rintik di lorong sepi pada suatu pagi.
Amarah, Nyaris Murka
Rasa ku tiada aksara sanggup ungkapkan hening yang ku rasa. Aku bangun saat fajar telah singsing, tiada gairah, kerap terlambat. Seketika kampus perjuangan yang orang damba tidak lebih dari bangunan reyot termakan umur yang dalamnya penuh kemunafikan. Seketika langkahku yang dulu semangat melanglang itari 'rumah kedua' ini menjadi lelah tak tertahankan.
Tiada nyawa yang paham laras hati ku kala ini. Mereka anggap aku luar biasa, energik, penuh suka cita. Tiada nyawa yang paham berat beban yang ku pikul kala ini. Mereka anggap hidup ku lapang-lapang saja. Persetan dengan sahabat, kapan mereka tanya? Tanya tapi tak dengar, sungguh ku tak gila formalitas, tak haus belas kasih. Mencoba terlihat peduli padahal tak lebih dari egoisme tak tersadari. Bukan aku pamrih, tapi begitu adanya, kalian yang tak sadar.
atau sadar tapi tak empati.
Monday, August 4, 2014
Friday, August 1, 2014
Friday, April 11, 2014
Sebenarnya Bunuh Diri
Engkaulah getar pertama yang meruntuhkan gerbang tak berujungku mengenal hidup
Engkaulah tetes embun pertama yang menyesatkan dahagaku dalam cinta tak bermuara
Engkaulah matahari Firdausku yang menyinari kata pertama di cakrawala aksara
Kau hadir dengan ketiadaan. Sederhana dalam ketidakmengertian.
Gerakmu tiada pasti. Namun, aku terus disini.
Mencintaimu
Entah kenapa.
Dewi Lestari (Supernova)
Friday, March 7, 2014
winner at a losing game.
Malam ini semesta membangunkan ku dari tidur ku yang panjang.
Sekian kali jiwa mengingatkan raga untuk bangun, untuk tidak terlena dengan
nyamannya. Tapi salahku, mungkin peringatan memang tiada cukup. Aku ingat betul bahkan ku tulis sendiri puisi untuk
diriku malam itu. Untuk mengingatkan ku bahwa mimpi tiada beda dengan Mahameru.
Indah, namun mematikan di waktu yang sama.
Sudah ku bilang mimpi ku memang muluk-muluk. Ia membawa ku ke
persimpangan jalan yang sangat berkabut. Membuat ku buta arah. Sampai akhirnya
yang ingin ku lakukan adalah semata-mata bagaimana membawa kebahagiaan datang pada dia yang maram
wajahnya ku lihat senja itu. Karena kebahagiaannya adalah yang ku rasa akan menyinari arahku. Karena kebahagiannya adalah yang ku rasa akan membawaku menembus kabut tebal di ujung jalan. Ku sita waktu ku berlari menembus hujan, dan melawan dingin yang menusuk kulit pada senja yang tak bersahabat itu, semata-mata untuk mendekatkan mu. Bukan padaku, tidak, bukan. Inginku toh sesederhana mendekatkan mu pada kemudahan.
Akhirnya malam ini semesta menjawab segala tanya
ku. Semesta membangunkan ku dari aku yang terlelap terlampau panjang dan aku yang terhanyut dalam angan yang menyenangkan, enam bulan terakhir. Semesta membangunkan ku dengan cara yang kasar, sedikit tidak berperikesemestaan. Mungkin memang semesta begitu adanya. Sakit. Belati, pedang, sebut semua, semua benda tajam yang ada di muka bumi ini rasa-rasanya seperti di tohokan ke dada ku. Mengoyak-ngoyak hati ku yang tak berperisai. Pada akhirnya air mata tiada kuat untuk di bendung, benteng pertahanan yang ku bangun kokoh akhirnya hancur lebur juga. Bahu ku bergetar hebat menahan sakit di dada yang tak tertahankan. Rasanya ingin buang jauh-jauh saja hati yang ku punya.
Ya, paling tidak aku masih kuat menulis.
Saturday, January 11, 2014
Sudah Gila
Hari itu baik saat ku lihat punggungmu dari jauh, wajahmu dari jauh
Hari itu indah saat ku rasa kita hirup udara yang sama, di ruang yang sama
Hari itu sempurna saat ku lihat tulus senyum mu, menyambut senyum ku
Mereka tidak keliru kalau mereka pikir aku gila
Rasanya memang benar adanya
Gila karena mu adalah penyakit
Yang untuk sembuh pun aku tak ingin
Yang Tak Bisa Disampaikan
Untuk dia yang di bawah pohon rindang terlelap
Untuk dia yang tak kuat duduk diantara cerobong asap
Untuk dia yang harus pergi cepat-cepat
Jangan berlari
Jangan menjauh
Lihat sekitar karena kebahagiaan sedang mencarimu
Untuk dia yang ingin menjadi pujangga
Untuk dia yang tak sadar dirinya di puja
Untuk dia yang baik hatinya tanpa pura-pura
Jangan merunduk
Jangan bertekuk lutut
Angkat kepalamu dan kau akan membuat mereka salut
Untuk dia yang sedihnya buat ku pilu
Untuk dia yang senyumnya buat ku rindu
Untuk dia yang namanya ku sebut di tiap doa ku
Selamat ulang tahun..
Semoga kebahagiaan lekas menemukanmu
Untuk dia yang tak kuat duduk diantara cerobong asap
Untuk dia yang harus pergi cepat-cepat
Jangan berlari
Jangan menjauh
Lihat sekitar karena kebahagiaan sedang mencarimu
Untuk dia yang ingin menjadi pujangga
Untuk dia yang tak sadar dirinya di puja
Untuk dia yang baik hatinya tanpa pura-pura
Jangan merunduk
Jangan bertekuk lutut
Angkat kepalamu dan kau akan membuat mereka salut
Untuk dia yang sedihnya buat ku pilu
Untuk dia yang senyumnya buat ku rindu
Untuk dia yang namanya ku sebut di tiap doa ku
Selamat ulang tahun..
Semoga kebahagiaan lekas menemukanmu
Subscribe to:
Posts (Atom)